Saya sedang buru-buru berangkat menghadiri sebuah acara ketika ponsel berdering-dering. Muncul sebaris nomer asing yang dari kemarin beberapa kali mencoba menghubungi. "Ah, kalo memang penting pasti dia akan berkirim pesan", begitu pikir saya sambil kabur pergi. Seperti tau apa yang saya pikir, sebuah pesan pun masuk. Dia -seorang ibu rumah tangga- memperkenalkan diri dan menyampaikan bahwa ada masalah hukum yang ingin dibicarakan. Hwaduhh..apa lagi ini, saya kan bukan jebolan fakultas hukum..
Akhirnya saya minta dia untuk menghubungi setelah selesai acara.
Sepulang dari acara, si ibu kembali menelepon. Ternyata dia mendapatkan nomer ponsel saya dari kawannya. Selanjutnya dia mulai cerita tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang menjalin hubungan dengan perempuan lain. Perempuan dari masa lalu yang bertemu kembali lewat ajang reuni. Juga tentang uang belanja yang tak lagi dia terima. Hingga kekerasan, bahkan ancaman senjata tajam yang acapkali dia dapatkan.
Huffttttt...cerita seperti ini lagi :'(
Lantas saya tanya, apa yang dia inginkan. Ibu ini bilang, dia sudah siap berpisah dari sang suami. Bahkan proses sudah sampai di Pengadilan Agama. Sayang.. menurut dia, proses terganjal kurangnya sebuah surat -entah apa yang dimaksud, saya juga kurang paham- dari instansi di mana suaminya bekerja. Dia mengaku sudah berusaha mengurus ke biro-biro terkait, tapi..sampai sekarang tak kunjung ada tanda-tanda kepastian penyelesaian masalah ini.
"Saya cuma ingin segera berpisah karena takut akan terjadi sesuatu pada diri saya. Tapi saya juga ingin mendapat kepastian bahwa suami bersedia menjamin kebutuhan finansial untuk anak-anak, mengingat selama ini sebagian gajinya diberikan pada perempuan lain itu. Saya sudah mendatangi biro-biro terkait di kantor suami, tapi sampai saat ini tidak ada kejelasan tentang masalah saya. Ke mana lagi saya harus menghadap? Siapa lagi yang harus saya temui biar masalah ini cepat selesai. Minta tolong bu..saya takut..", begitu tuturnya.
Duhai..taukah ibu, meskipun ingin...saya sama sekali tidak punya kekuatan dan wewenang untuk mengintervensi urusan dapur sebuah perusahaan. Saya hanya punya telinga yang siap menampung cerita ibu, sepasang lengan untuk memeluk ibu, dan do'a tulus semoga Allah hadirkan kebaikan untuk ibu dan putra putri tercinta.
Saya cuma mampu menjanjikan upaya mencari info, ke mana ibu harus menghadap agar masalah ini cepat selesai.
Saya tidak ingin menghakimi cerita ini, karena saya hanya mendengarnya dari satu pihak. Entah bagaimana cerita versi suami ibu ini.
Namun..bagaimanapun versinya, dalam kisah ketidakharmonisan rumah tangga akan selalu memakan korban. Siapa lagi kalau bukan anak-anak.
Mereka ibarat pemain figuran yang terpaksa harus mengikuti alur skenario tanpa mampu mengubahnya. Ibarat buih di lautan yang harus pasrah ke manapun arah ombak membawanya.
Padahal apa yang mereka lihat dan rasakan saat ini akan membentuk karakter mereka, bahkan menimbulkan trauma yang akan terbawa sepanjang usia.
Jangan sampai ketidakharmonisan orangtua mereka terbawa ke alam bawah sadar, mengendap, tercerna, dan menjadi role model. Bahwa begitulah seharusnya kelak mereka memperlakukan pasangan mereka.
Na'udzu bilLah min dzaalik ..
*Peluk hangat buat para ibu yang pernah menghubungi saya dengan kisah serupa.
0 komentar:
Posting Komentar