Satu siang di penghujung Ramadhan, telepon rumah berdering. Seorang teman meminta saya untuk datang ke rumahnya. Sang putra semata wayang -duduk di bangku kuliah- emosinya sedang meledak. Bahkan sambil membawa pisau, dia mengancam akan membunuh kedua orangtuanya.
Hhmm, kalo nunggu ayah pulang dari jama'ah sholat dhuhur, kayaknya kelamaan deh. Akhirnya sambil merapal mantra -laa haula wa laa quwwata illaa bilLaahil 'aliyyil 'adhiim- sayapun memutuskan berangkat sendiri. Ini adalah kali kedua saya dilibatkan dalam emosi Putra (kita sebut saja namanya begitu).
Begitu masuk rumah, saya lihat sang ibu sedang berusaha meredakan amarah Putra yang meledak-ledak.
Dengan mantap, saya gamit lengan remaja bertubuh tinggi besar itu, dan mengajaknya beranjak ke ruang lain. Meskipun sesekali berontak dan memaki orangtuanya, dia menurut juga.
Kalau pada keterlibatan pertama, saya dan ayah hanya sekedar menenangkan emosi Putra saja, saat itu saya bertekad akan menggali lebih dalam apa sebenarnya akar ledakan emosi ini.
Setelah Putra lebih tenang, sayapun memancingnya untuk mengeluarkan apa sebenarnya yang dia rasakan. Sambil merokok, dia merespon pertanyaan-pertanyaan saya dengan baik. Nampaknya remaja ini sedang putus asa. Dia merasa hidupnya tidak bahagia, tidak dihargai. Dia muak dengan segala aturan dan norma yang berlaku. Begitu hopelessnya, Putra sampe bilang kalau dia tidak peduli lagi sama Tuhan. Tidak mau beribadah lagi. Karena menurutnya sholat dan ibadah lain tidak membuat hidupnya bahagia. Dia bahkan siap mati dan dibakar di neraka. Dan yang paling memprihatinkan adalah, dia menuding bahwa orangtuanyalah sumber dari semua ketidakbahagiaan itu. Fiuhhh...
Di tengah serunya diskusi saya dengan Putra, ayah datang bergabung. Berdua kami "mengeroyok" remaja frustasi ini. Mencoba mengajak dia berjuang untuk "memegang remote kehidupannya" , dan tidak membiarkan orang lain mengambil alih "remote" tersebut. Menyuntikkan rasa percaya diri dan keyakinan, bahwa bahagia, sedih, dan sukses ada di tangannya sendiri. Memberi tantangan agar dia bisa menunjukkan kepada orangtuanya bahwa dia adalah anak hebat yang membanggakan. Bla..bla..bla.. Hingga akhirnya dia bisa tersenyum dan menyatakan, akan mencoba menebar kebaikan agar kelak dia menuai kebaikan serupa.
AlhamdulilLah... selesai. Untuk saat itu. Tapi Putra masih bisa meledak lagi ketika faktor pemicunya terusik. Masih ada banyak PR buat orangtuanya.
Usai peristiwa Putra, sayapun makin sering "berkaca dan bertanya". Apakah cara yang saya gunakan untuk -menurut saya- membantu anak-anak meraih suksesnya sudah tepat. Apakah anak-anak bisa menerimanya. Atau jangan-jangan mereka punya pikiran bahwa ibunya ini tukang memaksakan kehendak, suka mengebiri imajinasi, dan tidak bisa memahami jalan pikiran mereka.
Padahal, seperti ibu-ibu yang lain. Saya berkeyakinan bahwa segala aturan yang saya buat adalah karena saya ingin kelak mereka bahagia dan selamat di dunia akhirat . Semata-mata karena saya mencintai mereka.
Masalahnya adalah... apakah mereka saat ini BAHAGIA dan MERASA DICINTAI?
*duh, jadi galau nih..*
AlhamdulilLah... selesai. Untuk saat itu. Tapi Putra masih bisa meledak lagi ketika faktor pemicunya terusik. Masih ada banyak PR buat orangtuanya.
Usai peristiwa Putra, sayapun makin sering "berkaca dan bertanya". Apakah cara yang saya gunakan untuk -menurut saya- membantu anak-anak meraih suksesnya sudah tepat. Apakah anak-anak bisa menerimanya. Atau jangan-jangan mereka punya pikiran bahwa ibunya ini tukang memaksakan kehendak, suka mengebiri imajinasi, dan tidak bisa memahami jalan pikiran mereka.
Padahal, seperti ibu-ibu yang lain. Saya berkeyakinan bahwa segala aturan yang saya buat adalah karena saya ingin kelak mereka bahagia dan selamat di dunia akhirat . Semata-mata karena saya mencintai mereka.
Masalahnya adalah... apakah mereka saat ini BAHAGIA dan MERASA DICINTAI?
*duh, jadi galau nih..*
Japri inbox yuk.....masalah ini persis sama denganku sekarang....alhamdulilah meskinbelum tuntas minimal sdh ada titik harapan baik
BalasHapussekedar share saja ya mbak :) saya termasuk anak yg 'ditekan' oleh kedua ortu saya dan semata2 itu disebabkan karena kedua ortu saya sangat mencintai saya. 'penekanan' itu terus berlangsung bahkan sampai kini saya sudah punya anak 2. seringkali saya harus berusaha keras meyakinkan suami yang ikut merasa tertekan bahwa itu semata2 dilakukan oleh ortu karena mereka peduli dan sayang. anak pertama saya pun mulai bisa merasakan bahwa 'eyang galak' . Merasa dicintai? Sangat. Bahagia? entahlah... :) yg pasti sekarang saya berusaha mencintai anak2 saya dengan cara berbeda seperti kedua ortu saya mencintai saya :) #duh maaf kepanjangan, ini sharing apa curhat ya?
BalasHapussalam kenal mbak rita.. itulah, sesuatu yang "baik" ternyata perlu cara penyampaian yang baik pula. standar baik di sini bukan hanya dari kacamata kita saja. :) semoga mbak rita bisa segera bebas dari aneka "penekanan". dan semoga pula kita tidak mengulangi hal2 serupa pada anak2 kita ya mbak..
BalasHapusmbak dewi.. semoga segera nemu solusi yang pas buat masalahnya ya. #ikut sedih deh :(
BalasHapus